Jumat, 16 April 2010

Artikel

Menyibak Pro-Kontra Poligami.
Oleh: Sarwan Kelana

POLIGAMI merupakan syariat di dalam Islam yang sejak dulu dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kafir untuk menghantam dan mencela ajaran Islam.

Bahkan semenjak Rasulullah SAW, kaum Yahudi sudah mulai menghembuskan celaan dan hujatan kepada Rasulullah dan syariat poligami ini.

Diriwayatkan oleh Umar Maula Ghufroh dia berkata: Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita: Lihatlah orang yang tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah ia tidaklah punya hasrat melainkan kepada para wanita. (Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Saad, juz VIII hal 233).


Mereka (kaum Yahudi) mendengki Rasulullah dan ketika mereka melihat Rasulullah berpoligami, maka mereka jadikan hal itu sebagai sarana untuk menjatuhkan dan merendahkan beliau. Mereka lalu menyebarkan kedustaan dengan berkata: Kalau seandainya Muhammad itu benar-benar seorang Nabi, niscaya ia tidak akan begitu berhasrat kepada wanita.

Orientalis Klasik
Diantara para pencela tersebut adalah seorang orientalis klasik yang bernama Ricoldo de Monte Croce (1320 M) yang menulis buku Contra Sectam Mahumeticam Libellius (Menentang Gaya Hidup Sekte Muhammadanism). Dia menyebut dan menyamakan perbuatan Rasulullah itu sebagai amoral dan gila seks. Nauzubillah. Ricoldo menuduh Rasulullah dengan tuduhan-tuduhan yang keji.

Pada dasarnya, apabila ada orang yang mencela poligami, maka pada hakikatnya ia mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela sang pembuat syariat, Allah Azza wa Jalla: yang menciptakan alam semesta dan makhluk-Nya secara berpasang-pasangan dan yang menurunkan syariat poligami bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui atas kebaikan bagi makhluk-makhluk-Nya. Sedangkan makhluk-Nya tidak memiliki pengetahuan, melainkan hanya sedikit saja dan tidak lebih dari setetes air di samudera.

Namun, kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih mengagungkan akalnya daripada mengagungkan Allah dan syariat-Nya. Sebenarnya, apa yang menurut mereka buruk, maka mereka anggap buruk, padahal betapa sering terjadi apa yang mereka anggap buruk ternyata baik di sisi Allah dan apa yang mereka anggap baik ternyata buruk di sisi Allah dan Allah adalah Maha Mengetahui.

Tidak Bebas
Islam bukanlah yang pertama kali memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan poligami telah dikenal sejak masa lalu. Sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu sendiri, di mana poligami telah menjadi sebuah praktik yang lazim. Poligami dalam Islam, diperkenalkan ketika Islam datang di bawa Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan rahmat bagi alam semesta, maka Islam tidak melarang poligami dengan begitu saja. Islam tidak juga membiarkan poligami dilakukan secara bebas. Islam datang dan membatasi poligami maksimal hanya empat isteri saja. Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami bukanlah suatu hal yang asing di mana ada seorang lelaki beristeri puluhan bahkan ratusan wanita.

Datangnya Islam, membawa rahmat bagi semesta alam. Selain membatasi poligami, Islam juga menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada. Hanya Islam yang menyatakan (maka nikahilah) satu saja dan mensyaratkan untuk berlaku adil terhadap para isteri.

Berlaku Adil
Allah berfirman: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS an-Nisa: 3).

Dari ayat tersebut, Alquran memerintahkan untuk berbuat adil dan apabila tidak mampu berbuat adil (dalam hal nafkah, baik nafkah lahiriah dan batiniah), maka Allah memerintahkan untuk menikahi seorang wanita saja, agar tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan kezaliman. Syariat yang mulia ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah syariat yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan begitu saja.

Lima Kategori Hukum
Menurut sebagian fuqaha, hukum poligami itu sama dengan hukum pernikahan, yang kembalinya kepada lima kategori hukum: Pertama, wajib, apabila poligami tidak dilaksanakan, suami akan jatuh kepada keharaman, seperti perbuatan zina, selingkuh dan perbuatan asusila lainnya. Kedua, sunnah, apabila suami mampu dan memiliki harta yang cukup untuk melakukan poligami, dan dia melihat ada beberapa wanita muslimah (janda misalnya) yang sangat perlu dinikahi untuk diberikan pertolongan padanya.

Ketiga, boleh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami dan ia cukup mampu untuk melakukannya.Keempat, makruh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami, sedangkan ia belum memiliki kemampuan yang cukup sehingga akan kesulitan di dalam berlaku adil. Kelima, haram, apabila poligami dilakukan atas dasar niat yang buruk, seperti untuk menyakiti isteri pertama dan tidak menafkahinya atau ingin mengambil harta wanita yang akan dipoligaminya atau tujuan-tujuan buruk lainnya.

Dari lima kategori tersebut, poligami dapat jatuh kepada lima hal di atas. Ia dapat menjadi wajib, sunnah (dianjurkan), mubah (boleh-boleh saja), makruh ataupun haram. Oleh karena itu, menggeneralisir bahwa poligami itu wajib adalah suatu pendapat yang tidak keliru. Demikian pula dengan menuduh bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan adalah pendapat yang salah yang berangkat dari ketidakfahaman akan syariat Islam yang mulia ini. Padahal, seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari terjadinya perzinaan, perselingkuhan ataupun keburukan lainnya; dan bisa jadi poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda-janda yang memerlukan pelindung atas dirinya dan anak-anaknya.

Penutup
Berlandaskan sejumlah alasan di atas, dapat kita pahami, sebenarnya Islam tidak melarang poligami dan juga tidak mewajibkan poligami, tapi kalau dengan tujuan yang baik itu lebih baik. Semoga tulisan ini dapat menyadarkan kita dalam menyikapi persoalan poligami dengan jernih. Wallahu a’lam.***

Sarwan Kelana, mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
Artikel ini Diterbitkan RIAU POS tgl 30/Oktober/2009

Artikel

TAFSIR DAN BERBAGAI METODENYA
Oleh : Sarwan kelana al-alaiyi
Tafsr dalam pandangan Imam Az-zarqoni adalah ilmu yang membahas kandungan ayt-ayat Al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dengan kehendak Allah, menurut kesanggupan manusia.
Sedangkan dalam bahasa Arab kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr, yang berarti penjelasan atau keterangan yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan ini memberi pengertian tentang sesuatu itu disebut tafsir.
Tapi sebagian ulama ada yang mengatakan kata tafsir sebagai istilah yang berarti “ ilmu tentang turunnya ayat Al-Qur’an, sejarah dan situasi pada saat ayat itu di turunkan. Juga meliputi sejarah tentang penyusunan ayat yang turun di Mekah dan yang turun di Madinah, begitu juga dengan yat-ayat yang jelas maknanya (muhkamat) dan ayat yang memerlukan penafsiran/pentakwilan (mutasyabihat), yang jelas kata tafsir dalam agama Islam secara khusus menunjukkan kepada masalah penafsiran Al-Qur’an dan juga ilmu tafsir yang terkenal dengan nama ilmu Al-qur’an dan Tafsir.
Tafsir dan Ta’wil
Sekilas perbedaan pendapat antara tafsir dan ta’wil, ada kalanya tafsir diartikan dengan ta’wil yang bermakna kembali. Dalam hal ini orang yang menafsirkan Al-Qur’an mengurikannya sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung di dalam ayat itu sendiri.
Acapkali kata ta’wil diartikan sama dengan tafsir, namun para ulama berbeda pendapat mengenai hubungan antara kedua kata tersebut apakah keduanya bermakna satu atau sinonim, ataukah masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Ar-Raghib al-ashfahani berpendapat tafsir lebih bermakna umum di bandingkan dengan ta’wil dan lebih banyak digunakan untuk menerangkan mufradadnya (kosakatanya). Sedangkan kata ta’wil lebih banyak di pakai untuk menerangkan makna susunan kalimat saja.
Jadi dengan demikian makna kata ta’wil ialah keterangan tentang hakikat yang di maksud oleh kata itu sendiri. Sedangkan tafsir hanya menerangkan apa yang di maksud oleh kata itu seperti dalm QS Al-fajr:14 innaka labil mirshad tafsir ayatnya adalah “sungguh Allah senantiasa mengawasi” sedangkan ta’wilnya adalah “ memperingtkan kepada manusia supaya jangan meremehkan perintah Allah”.

Metode-Metode Tafsir
Dalam pandangannya Al-farmawi membagi metode tafsir yang bercorak penalaran kedalam Empat macam yaitu: Tahlili, Ijmali (Global), Muqoron (Komparasi) dan Maudhu’i (Tematik).
Metode tahlili
Dalam metode ini seorang mufasir harus berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang dengan memperhatikan outline ayat-ayat yang telah tercantum di dalam mushaf. Seorang mufasir dapat memulai dari satu ayat ke ayat berikutnya dengna mengikuti urutan ayat atau surah sesuai dalam Al-Qur’an terkadang metode ini menyertakan perkembangan kebudayan generasi Nabi sampai Tabi’in, juga di isi dengan uraian kebahasaan dan materi-materi khusus yang semuanya di tunjukkan untuk memahami Al-Qur’an.
Para mufasir tidak seragam dalam menggunakan metode ini, ada yang menjelaskan secara ringkas dan ada juga yang menjelaskan secara rinci. Diantara kerangaman tafsir itu ialah tafsir bi al-matsur, tafsir bi ar-Ra’yi, tafsir ash-shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al-ilmi dan tafsir al-adabi wa ij’tima’i.
Metode Ijmali (Global)
Sedangkan metode ini, seorang mufasir di tuntut agar dapat menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian yang singkat dalam bahasa yang mudah di pahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya.
Metode ini tidak jauh beda dengan metode tahlili, tapi seorang mufasir di tuntut untuk menafsirkan kosa kata al-qur’an didalam al-qur’an itu sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-qur’an dan tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosa kata yang serupa dalam Al-qur’an, metode tafsir ini lebih jelas dan lebih luas sehingga mudah dipahami pembaca.
Metode muqoron (Komparasi)
Bagi seorang mufasir yang menggunakan metode ini, ia harus bisa membandingkan antara ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema tertentu atau membandingkan ayat Al-qur’an dengan Hadits Nabi dan membandingkan ayat yang mempunyai kemiripan redaksi, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama yang menyangkut penafsiran Al-qur’an.
Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini merupakan penafsiran Al-qur’an dengan menyusun ayat-ayat Al-qur’an menjadi sebuah tema atau judul. Adapun pencetus metode ini adalah Syeikh mahmud syaltut, pada januari 1906. Selain beliau metodi ini juga di cetus oleh Prof Dr Ahmad sayyid al-kumiy ketua jurusan tafsir pada Fakultas Ushuluddin (al-azhar,1981), beliau mencetuskan ide metode tafsir dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang suatau topik untuk kemudian dikaitkan antara satu dengan lainnya. Sehingga pada akhirnya di ambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut dalam perspektif Al-qur’an, salah satu karya besar dalam metode ini ialah “Al-futuhat al-Robbaniyyah fi al-tafsir al-maudhu’i li al-ayat al-qur’aniyyah” karya Dr Al-Husaini abu farhah.
Penutup
Sebagai umat muslim, layak dan pantaslah kita untuk mengetahui tentang tafsir dan persoalannya begitu juga dengan metode-metode yang di gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, agar mudah untuk kita pahami. Semoga artikel ini dapat memberi wawasan pengetahuan kita mengenai tafsir dan berbagai metodenya yang di gunakan oleh ulama dalam menafsirkan Al-qur’an.

Sarwan kelana al-alaiyi
Mahasiswa FakultasUshuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Wartawan Gagasan UIN dan bergiat di (FLP) Pekanbaru
Artikel ini sudah di terbitkan oleh RIAU POS Jum'at 16/April/2010